Sabtu, 12 Oktober 2013

CARA MENANGGULANGI KUKU KIPAS (BEBEK) PADA SAPI

Kuku Kipas/Bebek pada ternak Sapi bukan di maksudkan sapi dengan kaki bebek. Ini hanya istilah yang sering di gunakan oleh sahabat-sahabat peternak di kelompok tani Amertha Bumi, pada sapi yang mengalami perubahan bentuk kuku kaki. Karena memang seluruh anggota kelompok tani ini tidak ada yang memiliki spesifikasi keilmuan di bidang peternakan, sehingga istilah yang di gunakanpun kadang tidak umum dalam ilmu peternakan.

Yang di maksud dengan Kuku Bebek pada Sapi bukanlah penyakit kuku yang berbahaya itu, tetapi Perubahan Bentuk Kuku Sapi yang di timbulkan oleh penempatan sapi pada tempat pijakan yang keras dalam waktu yang lama. Jadi, kuku bebek itu merupakan perubahan bentuk kuku yang semakin melebar (hingga mirip kaki bebek/kipas) karena sapi di tempatkan pada kandang dengan lantai yang keras (semen cor) dalam waktu yang relatif lama. Perubahan ini sebenarnya tidak berbahaya, tetapi mempengaruhi penampilan fisik ternak sapi kita. Seperti sapi yang tidak sehat saja.

Pada masa sekarang, penggunaan lantai kandang dengan campuran pasir dan semen sudah di anggap umum, bahkan hingga ke pelosok-pelosok. Dari beberapa hal, lantai semen akan memudahkan dalam perawatan dan pembersihan kandang, dibanding bila menggunakan galar kayu atau tanah. Meski demikian penggunaan lantai semen ini membutuhkan kreatifitas kita untuk menjaga agar sapi yang di tempatkan di kandang tersebut dapat terjaga dari terpeleset, karena terkena kotoran sapi itu sendiri. Sehingga kemiringan dari lantai kandang perlu di perhatikan. 

Sapi yang di tempatkan pada kandang dengan lantai semen tersebut, banyak mengalami perubahan bentuk kuku pada kaki-kakinya, yang terutama adalah kuku kaki depan. Untuk sapi-sapi yang di kandangkan dan mengalami hal seperti ini, maka ada cara untuk menanggulanginya. Cara tersebut adalah :

  1. Melapisi lantai kandang yang terbuat dari semen tersebut dengan jerami atau dengan membuatkan galar kayu. Sapi tidak mudah terpeleset, tetapi memberi tambahan pekerjaan karena akan sedikit mengalami kesulitan dalam pembersihan kandang, katena serakan jerami dan galar kayu.
  2. Membuat jadwal sapi di keluarkan dari kandang, minimal 2 kali dalam seminggu secara rutin. Sapi di tempatkan/gembalakan di tempat terbuka.
  3. Membawa dan membiarkan sapi berjalan/memijakan kaki pada pasir yang hangat/panas karena sinar matahari dengan waktu paling kurang 0,5 - 1 jam, secara rutin setoap kali sapi-sapi di keluarkan dari kandang.
Berdasarkan pengalaman yang di alami oleh pengurus dan anggota Poktan Amertha Bumi atas sapi-sapi mereka (Kuku Bebek). Dalam hal ini, cara yang di gunakan adalah cara ( 2 ) dan ( 3 ). Dan setelah beberapa kali di lakukan, maka kuku-kuku sapi pada kelompok tani Amertha Bumi kembali normal.


Jumat, 11 Oktober 2013

PENYAKIT BAKTERIAL PADA TERNAK SAPI

Sapi merupakan hewan Ruminansia, yaitu hewan yang memamah biak. Beternak sapi merupakan kegiatan usaha yang sesungguhnya dapat memberi dan meningkatkan pendapatan masyarakat, tentu saja  apabila di kelola dengan sistem management yang baik. Walaupun demikan beternak bukannya tanpa tantangan dan hambatan. Salah satu faktor yang wajib di ketahui oleh para peternak adalah penyakit yang dapat menyerang serta menjangkiti ternak, yang dapat menghambat keberhasilan bahkan cenderung merugikan apabila tidak dapat di tangani secara benar.

Di bawah ini adalah artikel yang saya ambil dari Blog Program Studi PENYULUHAN PETERNAKAN STPP MALANG, dengan maksud untuk menambah ilmu dan pengetahuan bagi  peternak, khususnya di daerah yang memiliki potensi baik di bidang peternakan, tetapi dengan basis ilmu dan pengetahuan yang kurang.


PENYAKIT BAKTERIAL PADA RUMINANSIA

1. Penyakit Brucellosis (Keluron Menular).

    Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnya serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau pemyakit Bang. Sedangkan pada manusia menyebabkan demam yang bersifat undulans dan disevut Demam Malta. Jasad renik penyebab è Micrococcus melitensis yang selanjutnya disebut pula Brucella melitensis.
        Bakteri Brucella untuk pertama kalinya ditemukan oleh Bruce (1887) pada manusia dan dikenal sebagai Micrococcus miletensi. Kemudian Bang dan Stribolt (1897) mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi yang menderita kluron menular. Jasad renik tersebut diberi nama Bacillus abortus bovis. Bakteri Brucella bersifat gram negatif, berbentuk batang halus, mempunyai ukuran 0,2 - 0,5 mikron dan lebar 0,4 - 0,8 mikron, tidak bergerak, tidak berspora dan aerobik. Brucella merupakan parasit intraseluler dan  dapat diwarnai dengan metode Stamp atau Koster.  Brucellosis yang menimbulkan masalah pada ternak terutama disebabkan oleh 3  spesies, yaitu Brucella melitensis, yang menyerang pada kambing, Brucella abortus,  yang menyerang pada sapi dan Brucella suis, yang menyerang pada babi dan sapi.
       Brucella memiliki 2 macam antigen, antigen M dan antigen a. Brucella melitensis memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A, sedangkan Brucella abortus dan Brucella suis sebaliknya. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella adalah rendah karena antibodi tidak begitu berperan.
         Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun mortalitasnya kecil. Pada ternak kerugian dapat berupa: 
kluron,
anak ternak yang dilahirkan lemah,
kemudian mati,
terjadi gangguan alat-alat reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporee atau permanen.
Kerugian pada sapi perah berupa turunnya produksi air susu.
       
        Brucellosis merupakan penyakit beresiko sangat tinggi, oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya tak bersentuhan langsung dengan manusia. Sebab penyakit ini dapat menular dari ternak ke manusia dan sulit diobati, sehingga brucellosis merupakan zoonosis yang penting. Tetapi manusia dapat mengkonsumsi daging dari ternak-ternak yang tertular sebab tidak berbahaya apabila tindakan sanitasi minimum dipatuhi dan dagingnya dimasak. Demikian pula dengan air susu dapat pula dikonsumsi tetapi harus dimasak atau dipasteurisasi terlebih dahulu.
       Pada kambing brucellosis hanya memperlihatkan gejala yang samar-samar. Kambing kadang-kadang mengalami keguguran dalam 4 - 6 minggu terakhir dari kebuntingan. Kambing jantan dapat memperlihatkan kebengkakan pada persendian atau testes.
        Pada sapi gejala penyakit brucellosis yang dapat diamati adalah keguguran, biasanya terjadi pada kebuntingan 5 - 8 bulan, kadang diikuti dengan kemajiran, Cairan janin berwarna keruh pada waktu terjadi keguguran, kelenjar air susu tidak menunjukkan gejala-gejala klinik, walaupun di dalam air susu terdapat bakteri Brucella, tetapi hal ini merupakan sumber penularan terhadap manusia. Pada ternak jantan terjadi kebengkakan pada testes dan persendian lutut.
        Selain gejala utama berupa abortus dengan atau tanpa retensio secundinae (tertahannya plasenta), pada sapi betina dapat mempperlihatkan gejala umum berupa lesu, napsu makan menurun dan kurus. Disamping itu terdapat pengeluaran cairan bernanah dari vagina.
        Pada sapi perah, brucellosis dapat menyebabkan penurunan produksi susu. Seekor sapi betina setelah keguguran tersebut masih mungkin bunting kembali, tetapi Tingkat kelahirannya akan rendah dan tidak teratur. Kadang-kadang fetus yang dikandung dapat mencapai tingkatan atau bentuk yang sempurna tetapi pedet tersebut biasanya labir mati dan plasentanya tetap tertahan (tidak keluar) serta disertai keadaan metritis (peradangan uterus). Brucellosis penyakit dapat menulari semua betina yang telah dewasa kelamin dan dapat menyebabkan abortus.
        Pada sapi betina bakteri Bang terdapat pada uterus, terutama pada endometrium dan padaruang diantara kotiledon. Pada plasenta, bakteri dapat ditemukan pada vili, ruang diantara vili dan membran plasenta yang memperlihatkan warna gelap atau merah tua. Pada fetus, bakteri Brucella dapat ditemukan dalam paru-paru dan dalam cairan lambung. Pada pejantan bakteri brucella dapat ditemukan dalam epydidymis, vas deferens dan dalam kelenjar vesicularis, prostata dan bulbourethralis. pada infeksi berat bakteri dapat berkembang dalam testes, khususnya dalam tubuli seminiferi.
        Perubahan pasca mati yang terlihat adalah penebalan pada plasenta dengan bercak-bercak pada permukaan lapisan chorion. cairan janin terlihat keruh berwarna kuning coklat dan kadang-kadang bercampur nanah. Pada ternak jantan ditemukan proses pernanahan pada testikelnya yang dapat diikuti dengan nekrose.
        Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada vaksinasi dan tindakan sanitasi dan tata laksana. Tindakan sanitasi yang bisa dilakukan yaitu
sisa-sisa abortusan yang bersifat infeksius dihapushamakan. Fetus dan plasenta harus dibakar dan vagina apabila mengeluarkan cairan harus diirigasi selama 1 minggu
bahan-bahan yang biasa dipakai didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu : phenol, kresol,
amonium kwarterner, biocid dan lisol
hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron. Apabila seekor ternak pejantan mengawini ternak betina tersebut, maka penis dan preputium dicuci dengan cairan pencuci hama
anakanak ternak yang lahir dari induk yang menderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari ternak lain yang bebas brucellosis
kandang-kandang ternak penderita dan peralatannya harus dicuci dan dihapushamakan serta ternak pengganti jangan segera dimasukkan.

Pengobatan :
Belum ada pengobatan yang efektif terhadap brucellosis.


2. Penyakit Anthrax (Radang Limpa)
Anthrax
        Anthrax adalah penyakit menular yang biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak, kuda, babi dan sebagainya), yang disertai dengan demam tinggi dan disebabkan oleh Bacillus anthracis. Biasanya ditandai dengan perubahan-perubahan jaringan bersifat septicemi, timbulnya infiltrasi serohemorrhagi pada jaringan subkutan dan subserosa dan dengan pembengkakan akut limpa. Pelbagai jenis ternak liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya) dapat pula terserang. Faktor-faktor predisposisi daat mempermudah timbulnya penyakit pada hewan-hewan yang mengandung spora yang bersifat latent.
        Menurut penelitian, kerentanan hewan terhada anthrax dapat dibagi dalam beberapa kelompok:
Hewan-hewan pemamah biak terutama sai, domba kemudian berturut-turut kuda, rusa, kerbau dan pemamah biak liar lainnya
Babi tidak begitu rantan
Anjing, kucing, tikus dan sebagian besar bangsa burung realtif tidak rentan tetapi dapat diinfeksi secara buatan
Hewan-hewan berdarah dingin sama sekali tidak rentan

        Manusia juga rentan terhadap infeksi bakteri ini, meskipun tidak serentan ternak pemamah biak. Anthrax merupakan salah satu zoonosis yang penting dan sering menyebabkan kematian pada manusia.
        Di Indonesia anthrax menyebabkan banyak kematian pada ternak. Kerugian dapat berupa kehilangan tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan daging dan kulit karena ternak tidak boleh dipotong.
        Penyakit anthrax di Indonesia ditemukan sejak tahun 1884. Sejak itu Pemerintah baik pada masa kolonial Belanda sampai Pemerintah RI telah berupaya untuk menurunkan kasus-kasus penyakit bakterial ini.
        Namun pada awal tahun 1990 tiba-tiba masyarakat peternakan Indonesia dikejutkan dengan wabah anthrax yang menyerang sapi-sapi perah di Boyolali. peristiwa ni menyebabkan jumlah ternak yang terjangkiti penyakit anthrax mencapai 3600 ekor sapi dan 1406 ekor sapi mati.
 
Penyebab
        Penyebab penyakit anthrax adalah bakteri Bacillus anthracis. Faktor-faktor seperti hawa dingin, kekurangan makanan dan keletihan dapat mempermudah timbulnya penyakit pada ternak-ternak yang mengandung spora yang bersifat laten.
        Bacillus anthracis berbentuk batang, lurus dengan ujung siku-siku. dalam biakan membentuk rantai panjang. dalam jaringan tubuh tidak pernah terlihat rantai panjang, biasanya tersusun secara tunggal atau dalam rantai pendek dari 2 - 6 organisme. Dalam jaringan tubuh selalu berselubung (berkapsel). kadang-kadang satu kapsel melingkupi Beberapa organisme.
      Bakteri Bacillus anthracis bersifat gram positif, berukuran besar dan tidak dapat bergerak. Bakteri yang sedang menghasilkan spora memiliki garis tengah 1 mikron atau Lebih dan panjang 3 mikron atau lebih.
        Basil anthrax bersifat aerob dan akan membentuk spora yang letaknya di tengah bila cukup oksigen. Spora tersebut mampu hidup di tanah sampai puluhan tahun. Bentuk spora lebih tahan terhadap suhu pasteurisasi, oleh macam-macam desinfektan atau proses pembusukan dibandingkan bentuk vegetatif B. antracis.
        Pemusnahan spora B. anthracis dapat dicapai dengan uap basah bersuhu 900C selama 45 menit, air mendidih atau uap basah bersuhu 1000C selama 10 menit, dan panas kering pada suhu 1200C selama satu jam.

Penularan
Cara penularan Anthrax
Spora dan tanah
Port d’entre Anthrax

        Anthrax tidak lazim ditularkan dari ternak yang satu ke ternak yang lain secara langsung. Wabah anthrax pada umum nya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis yang menjadi daerah inkubator bakteri tersebut.
      Bila penderita anthrax mati kemudian diseksi atau termakan burung-burung atau ternak pemakan bangkai, maka sporanya akan dengan cepat terbentuk dan mencemari tanah sekitarnya. Bila terjadi demikian, maka menjadi sulit untuk memusnahkannya. Hal tersebut menjadi lebih sulit lagi, bila spora yang terbentuk itu tersebar angin. air pengolahan tanah,rumput makanan ternak dan sebagainya. Di daerah iklim panas lalat penghisap darah antara lain jenis Tabanus dapat bertindak sebagai pemindah penyakit.
        Rumput pada lahan yang tercemari penyakit ini dapat ditempati spora. Apabila rumput ini dimakan sapi perah maupun ternak lainnya, mereka akan tertulari.
     Penyebaran penyakit ini umumnya dapat berkaitan dengan pakan yang kasar atau ranting-ranting yang tumbuh di wilayah yang terjangkit penyakit anthrax. bahan pakan yang kasar kadangkala menusuk membran di dalam mulut atau saluran pencernaan dan masuklah bakteri Bacillus anthracis tersebut melalui luka-luka itu. jadi melalui luka-luka kecil tersebut maka terjadi infeksi spora.
      Penularan dapat terjadi karena ternak menelan tepung tulang atau pakan lain atau air yang sudah terkontaminasi spora. Selain itu gigitan serangga pada ternak penderita di daerah wabah yang kemudian serangga tersebut menggigit ternak lain yang peka di daerah yang masih bebas merupakan cara penularan juga.
        Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari ternak melalui permukaan kulit terluka, terutama pada orang-orang yang banyak berhubungan dengan ternak.
    Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi pada pekerja-pekerja penyortir bulu domba (wool-sarter’s disease), sedangkan infeksi melalui pencernaan terjadi pada orang-orang yang makan daging asal ternak penderita anthrax.

Gejala Klinis pada Ternak

Gejala klinis dan gejala umum anthrax
        Gejala-gejala umum anthrax berupa pembengkakan di daerah leher, dada, sisi lambung, pinggang dan alat kelamin luar. Pembengkakan tersebut berkembang dengan cepat dan meluas, bila diraba tarasa panas, konsistensinya lembek atau keras, sedangkan kulit di daerah tersebut normal atau terdapat luka yang mengeluarkan eksudat cair berwarna kuning muda. Kemudian pembengkakan pada daerah leher, pada selaput lendir rektum serta pembengkakan berupa bungkul-bungkul. Anthrax ada 3 bentuk yaitu perakut, akut dan kronis.
        Pada ternak terdapat tiga bentuk penyakit anthrax, yaitu perakut, akut dan kronis. Kondisi perakut mempunyai gejala penyakit yang sangat mendadak dan segera terjadi kematian karena perdarahan di otak. Gejala tersebut berupa sesak napas, gemetar kemudian ternak rebah. Pada beberapa kasus ternak menunjukkan gejala kejang-kejang. Kematian dapat terjadi hanya dalam waktu 2 - 6 jam saja.
        Pada kondisi akut, mula-mula terjadi panas tubuh yang meningkat (demam), kemudian penderita menjadi gelisah, depresi dengan pernafasan susah. Gejala ini diikuti dengan jantung cepat dan lemah, kejang dan penderita segera mati. Selama penyakit berlangsung, demamnya mencapai 41,50C. Produksi susu berkurang dan susu yang dihasilkan berwarna sangat kuning atau kemerahan. Pembengkakan pada tenggorok dan lidah adalah salah satu gejala umum yang tampak.
        Pada bentuk perakut kematian dapat mencapai 100% sedangkan dalam bentuk yang akut kematian dapat mencapai 90% meski telah dilakukan pengobatan.
        Sedangkan anthrax bentuk kronis umumnya terdapat pada babi, tetapi juga terdapat pada ternak lainnya. gejalanya ditandai dengan adanya lepuh lokal terbatas pada lidah dan tenggorokan. Bangkai ternak yang mati karena anthrax dilarang keras untuk diseksi. Bangkai tersebut cepat membusuk karena sepsis dan sangat menggembung. Kekakuan bangkai (rigormortis) biasanya tidak ada atau tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti ter mungkin keluar dari lubang hidung dan dubur yang bengkak dan lekas membusuk. Selaput lendir kebiruan, sering terdapat penyembulan rektum disertai perdarahan.

Gejala patologis anatomis
        Bangkai hewan yang mati karena anthrax dilarang keras untuk diseksi. Bangkai hewan yang mati karena anthrax cepat membusuk karena sepsis. Kekakuan bangkai biasanya tidak ada atau tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti ter mungkin keluar dari lubang hidung dan dubur yang bengkak dan ceat membusuk. Selaput lendir kebiruan, sering terdapat penyembulan rektum disertai perdarahan.

Pencegahan, Pengobatan dan perlakuan pemotongan hewan dan daging.
        Bagi daerah bebeas anthrax tindakan pencegahan didasarkan ada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut. Anthrax pada hewan ternak daat dicegah dengan vaksin pada umumnya hewan ternak di daerah enzootik anthrax yang dilakukan setiap tahun disertai cara-cara pengawasan dan pengendalian yang ketata. Oleh karena anthrax pada hewan ternak sangat menular dan fatal, pengendalia enyakit didasarkan pada engobatan seawal mungkin disertai cara-cara pengendalian yang ketat. Hewan berpenyakit anthrax dilarang keras untuk dipotong.

Pencegahan
        Tindakan pencegahan yang bisa diupayakan adalah (1) bagi daerah yang masih bebas anthrax, tindakan pencegahan didasarkan pada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan ternak ke daerah tersebut (2) pada daerah enzootik anthrax, anthrax pada ternak ternak dapat dicegah dengan vaksinasi yang dilakukan setiap tahun. Pada sapi dan kerbau dosis 1 cc, pada kambing, domba, babi dan kuda dosis sebesar 0,5 cc. Vaksin diberikan secara injeksi subkutan.. Membuat preparat apus darah yang diambil dari telinga pada ternak yang mati secara tiba-tiba (3) jika ternak mati karena anthrax, maka tidak boleh dibuka bangkainya, tetapi diambil salah satu daun telinga dan masukkan ke dalam kantong plastik serta didinginkan jika mungkin, selanjutnya di bawa ke laboratorium untuk didiagnosis. Bangkai langsung dibakar atau dikubur sedalam 2 meter dan ditutup kapur, kulit dan bulu penderita dimusnahkan.

Pengobatan
        Pengobatan umumnya dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara antiserum dan antibiotika. Antibiotika yang dipakai antara lain Procain Penisilin G, treptomisin atau kombinasi antara Penisilin dan Streptomisin.



3. Radang Ambing ( Mastitis)
        Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003). Akoso (1996) menyatakan bahwa pada sapi, mastitis sering terjadi pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis bakteri.
        Sori et al (2005) menyatakan bahwa kerugian kasus mastitis antara lain : kehilangan produksi susu, kualitas dan kuantitas susu berkurang, banyak sapi yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa mencapai 30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan besar dalam industri sapi perah.

Faktor Penyebab Mastitis
        Resistensi atau kepekaan terhadap mastitis pada sapi, kambing atau domba bersifat menurun. Gen- gen yang menurun akan menentukan ukuran dan struktur puting Saat periode kering adalah saat awal bakteri penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada ambing. Berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, antara lain Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepedermicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas eroginosa. Dilaporkan juga bahwa yeast dan fungi juga sering menginfeksi ambing, namun biasanya menyebabkan mastitis subklinis. 
        Hasil penelitian di Ethiopia oleh Sori et al (2005) menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan susu dengan metode CMTdari 180 ekor sapi perah lokal Zebu dan persilangan, prevalensi mastitis mencapai 52,78%, dengan 47 ekor (16,11%) merupakan mastitis klinis dan 87 ekor (36,67%), merupakan mastitis subklinis.
        Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya produksi susu. Dilaporkan oleh peneliti yang sama bahwa dari 134 isolat yang diuji, maka persentase terbesar mikroorganisme penyebab mastitis adalah Staphylococcus aureus.
        Disamping faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak, meliputi bentuk ambing, misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar.
        Bentuk puting, ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al (2005) menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar 47,74%. Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri, belakang dan kanan, depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya. Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan, depan mencapai 30,06%.
        Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendor memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna. Faktor bangsa sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan bahwa kejadian mastitis pada sapi persilangan (Crossbreed) lebih besar daripada sapi lokal.
        Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing meliputi pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Dilaporkan bahwa pada ventilasi jelek, mastitis bisa mencapai 87,5% dan pada ventilasi yang baik mencapai 49,39%.

Gejala-gejala
        Secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara akut, subakut dan kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses radang yang bersifat akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : kebengkakan ambing, panas saat diraba, rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu berubah sifat, menjadi pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Proses yang berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala sebagaimana di atas, namun derajatnya lebih ringan, ternak masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses berlangsung kronis apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar mammae.

Cara penularan
        Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari quarter terinfeksi ke quarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah dan lalat.

Diagnosis
           Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu, perubahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus, diagnosis juga bisa dilakukan dengan Whiteside Test.

Kontrol
     Untuk mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu beberapa upaya, antara lain (1) meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran puting. Air susu pancaran pertama saat pemerahan hendaknya ditampung di strip cup dan diamati terhadap ada tidaknya mastitis. Perlu pencelupan atau diping puting dalam biosid 3000 IU (3,3 mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda disarankan untuk setiap ekor sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan. (2) Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan ß-karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan kejadian mastitis.

Pengobatan
        Sebelum menjalankan pengobatan sebaiknya dilakukan uji sensitifitas. Resistensi Staphylococcus aureus terhadap penicillin disebabkan oleh adanya ß- laktamase yang akan menguraikan cincin ß- laktam yang ditemukan pada kelompok penicillin. Pengobatan mastitis sebaiknya menggunakan Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol.
      Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan. Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan penicillin, karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin.
        Strategi efektif untuk mencegah dan mengatasi mastitis yang disebabkan oleh Staphilococcus aureus masih sukar dipahami. Dilaporkan bahwa bakteri Staphylococcus sp dan Streptococcus sp yang diisolasi dari kasus mastitis sapi telah banyak yang multi resisten terhadap beberapa antibakterial. Penggunaan antibiotik untuk mengatasi mastitis juga telah banyak merugikan masyarakat konsumen, karena susu mengandung residu antibiotik bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
         Akibat penggunaan antibiotik pada setiap kasus mastitis, yang mungkin tidak selalu tepat, maka timbul masalah baru yaitu adanya residu antibiotika dalam susu, alergi, resistensi serta mempengaruhi pengolahan susu. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri gram positif juga makin sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diperlukan upaya pencegahan dengan melakukan blocking tahap awal terjadinya infeksi bakteri.
        Hasil penelitian Wall (2006) menunjukkan bahwa efikasi pirlymycin sebagai antibiotik untuk mengatasi mastitis yang disebabkan Staphylococcus aureus hanya bisa mencapai 13% dengan masa terapi dua hari, dan mencapai 31% apabila terapi diperpanjang sampai 5 hari. Jika diperhitungkan antara produksi susu dengan biaya terapi, ongkos bahan bakardan adanya kandungan sel-sel somatik dalam air susu, maka masih dibawah Break Even Point.
        Selanjutnya Middleton dan Foxt (2001) melaporkan bahwa penggunaan infus intramammaria dengan 120 ml, 5% Povidone-Iodine (0,5% Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor penderita mastitis akibat Staphylococcus aureus menunjukkan hasil yang sangat memuaskan, karena 100% (7 ekor) penderita bisa memproduksi susu kembali pada laktasi berikutnya. Sedangkan terapi mastitis dengan infus Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71% (5 ekor). Mean milk Weight (kg) pada terapi Iodine lebih besar daripada terapi dengan Chlorhexidine. Sekresi susu dari kuartir yang diberi Iodine tidak mengandung residu pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangkan pada infusi dengan Chlorhexidine ternyata mengandung residu antibiotik.
      Wall (2006) melaporkan bahwa enzim protepolitik yang dikenal dengan Lysotaphin, yang dihasilkan oleh Staphylococcus simulans bisa memotong ikatan – ikatan spesifik dalam komponen dinding sel, yaitu peptidoglycan dari Staphylococcus aureus. Efikasi Lysotaphin untuk terapi mastitis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus telah dievaluasi pada beberapa jenis ternak, antara lain : tikus, kambing dan sapi. Infusi Lysotaphin ke dalam kelenjar mammae yang terinfeksi memberikan respon perbaikan produksi pada laktasi berikut sebesar 20%. Transgene Lysotaphin memberikan pertahanan kuat melawan berbagai bakteri penyebab mastitis. Susu transgenik juga mengandung agen-agen yang menghambat pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan, sehingga susu dan produk susu lebih panjang daya simpannya.
        Dalam pengobatan mastitis dengan menggunakan antibiotik, sehingga pengobatan bisa efektif, diperlukan uji sensitifitas antibiotik tersebut terhadap bakteri penyebab mastitis, terutama Staphylococcus aureus. Perlu diketahui bahwa Staphylococcus aureus telah menunjukkan sifat resistensi terhadap antibiotik. Berdasarkan sifat resistensinya, maka Staphylococcus aureus dikelompokkan dalam beberapa golongan, antara lain (1) Staphylococcus aureus yang menghasilkan enzim ß-laktamase, yang berada di bawah kontrol plasmid, dan membuat organisme resisten terhadap beberapa penisilin, antara lain penisilin G, ampisilin, piperasilin, tikarsilin dan obat-obat yang sejenis (2) Staphylococcus aureus yang resisten terhadap nafsilin, oksasilin, metisilin, yang tidak tergantung pada produksi ß-laktamase. Gen mecA untuk resistensi terhadap nafsilin terletak di kromosom.Resistensi ini berkaitan dengan kekurangan PBP (Penicillin Binding Protein) (3) Staphylococcus aureus yang memiliki kerentanan menengah terhadap vankomisin.



4. SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE) / Ngorok
        Penyakit SE adalah penyakit menular terutama pada kerbau, sapi, babi dan kadang-kadang pada domba, kambing dan kuda yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida tipe tertentu. Penyakit biasanya berjalan secara akut , dengan angka kematian yang tinggi, terutama pada penderita yang telah menunjukkan tanda-tanda klinik yang jelas. Sesuai dengan namanya, pada kerbau dalam stadium terminal akan menunjukkan gejala-gejala ngorok (mendengkur), disamping adanya kebengkakan busung pada daerahdaerah submandibula dan leher bagian bawah. Gambaran seksi pada ternak memamah biak menunjukkan perubahan-perubahan sepsis.
        Penyakit SE menyebabkan kematian, napsu makan berkurang, penurunan berat  badan serta kehilangan tenaga kerja pembantu pertanian dan pengangkutan.
        Di Indonesia, karena program vaksinasi SE dilakukan secara rutin, maka kejadian penyakit SE di Indonesia saat ini hanya bersifat sporadik. Namun wabah SE dalam jumlah cukup besar masih sering ditemukan, misalnya di daerah-daerah Nusatenggara, seperti Sumba,Timor, Sumbawa dan daerah-daerah lain. Pada umumnya wabah itu terjadi pada permulaan musim hujan. Hal ini biasanya disebabkan karena tidak tervaksinnya ternak-ternak di daerah itu. Keadaan ini mungkin karena vaksin tidak tersedia atau lapangan di mana ternak merumput secara liar sangat sulit terjangkau oleh vaksinator.

Penyebab
        Penyebab penyakit SE adalah bakteri Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus yang mempunyai ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler.
          Secara serologik dikenal beberapa tipe dan penyebab SE di Indonesia, antara lain adalah Pasteurella multocida tipe 6B. Bakteri yang bersifat gram negatif ini tidak membentuk spora, bersifat non motil dan berselubung yang lama kelamaan dapat hilang karena penyimpanan yang terlalu lama.

Cara Penularan
        Faktor-faktor predisposisi , seperti : kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan sebagainya mempermudah timbulnya penyakit.
          Penyakit ngorok biasanya menyerang sapi umur 6 – 24 bulan dan sering terjadi ada musim hujan yang dingin. Sapi yang belum divaksinasi SE lebih banyak terserang. Kondisi stress dalam pengangkutan merupakan penyebab utama terjadinya penyakit ini, sehingga penyakit ini disebut pula shipping fever.
         Diduga pintu gerbang infeksi bakteri ke dalam tubuh penderita adalah daerah tenggorokan. Ternak sehat akan tertular oleh ternak sakit atau pembawa melalui kontak atau melalui makanan, minuman dan alat-alat yang tercemar. Ekskreta ternak penderita (ludah, kemih, dan tinja) juga mengandung bakteri.
        Bakteri yang jatuh di tanah apabila keadaan serasi untuk pertumbuhan bakteri (lembab, hangat, teduh), maka akan tahan kurang lebih satu minggu dan dapat menulari ternak-ternak yang digembalakan di tempat tersebut.
        Sapi yang menderita penyakit SE harus diisolasi pada tempat yang terpisah. Apabila sapi itu mati ataupun dapat sembuh kembali, kandang dan peralatan yang digunakan untuk perawatan sapi itu harus dihapushamakan. Jangan gunakan kandang tersebut sebagai tempat sapi sebelum lewat minimal 2 minggu.
        Penyakit SE ditemukan di sebagian besar wilayah Indonesia dan negara negara lain kecuali Australia, Oceania, Amerika Utara, Jepang dan Afrika Selatan. Kebanyakan wabah bersifat musiaman, terutama pada musim penghujan. Faktor-faktor predisposisi seperti kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan sebaginya mempermudah timbulnya penyakit. Diduga sebagai intu gerbang infeksi kuman ke dalam tubuh penderita adalah daerah tenggorokan. Hewan sehat akan tertular hewan sakit atau embawa melalui kontak atau melalui makanan, minuman dan alat0alat yang tercemar. Ada kemungkinan pula bahwa insekta dan lintah dapat bertindak sebagai vektor.
        Pada babi SE dijumpai berbentuk gangguan pernafasan dengan gejala batuk lebih menonjol. Penularan melalui udara yang dibatukkan oleh penderita lebih mudah terjadi, apalagi kalau babi-babi tersebut makan dan minum dari tempat yang sama

Gejala Klinis
Gejala penyakit SE adalah
Bentuk busung
Bentuk pektoral
Kelainan pasca mati

        Masa tunas SE adalah 1 – 2 hari. Penderita lesu, suhu tubuh naik dengan cepat sampai 410C atau lebih. Gemetar, mata sayu dan berair. Selaput lendir mata hiperemik. Napsu makan, memamah biak, gerak rumen dan usus menurun sampai hilang, disertai konstipasi. Mungkin pula gangguan pencernaan berupa kolik, peristaltik usus naik, dengan tinja yang konsistensinya agak cair dan kadang-kadang disertai titik-titik darah. Sekali-sekali ditemukan juga epistaksis, hematuria dan urtikaria yang dapat melanjut ke nekrose kulit.
        Pada SE dikenal tiga bentuk, yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal. Pada bentuk busung ditemukan adanya busung pada kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan kadang-kadang pada kaki muka. Tidak jarang pula dubur dan alat kelamin juga mengalami busung. Derajat kematian bentuk ini tinggi, sampai 90% dan berlangsung cepat, hanya 3 hari, kadang-kadang sampai 1 minggu. Sebelum mati, terutama pada kerbau gangguan pernafasan akan nampak sebagai sesak nafas (dyspnoe) dan suara ngorok, merintih dengan gigi gemeretak.
        Pada bentuk pektoral, tanda-tanda bronchopneumonia lebih menonjol, yang dimulai dengan batuk kering dan nyeri, yang kemudian diikuti dengan keluarnya ingus hidung, pernafasan cepat dan susah. Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung lebih lama, yaitu antara 1 – 3 minggu.
        Kadang-kadang penyakit dapat berjalan kronis, ternak menjadi kurus dan sering batuk, napsu makan terganggu, terus menerus mengeluarkan air mata. Suhu tidak berubah, tetapi terjadi mencret degil (sulit disembuhkan) yang bercampur darah.

Perubahan Pasca Mati
        Secara anatomi patologi dikenal bentunk bususng, pektoral dan intestinal. Yang paling banyak ditemukan adalah kombinasi dua atau tiga bentuk , meskipun bentuk busung lebih menonjol.
        Pada bentuk busung terlihat busung gelatin disertai perdarahan di bawah kulit di bagian kepala, leher, dada dan sekali-sekali meluas sampai bagian belakang perut. Cairan busung bersifat bening, putih kekuningan atau kadang-kadang kemerahan. Sering kali infiltrasi cairan serum terlihat sampai lapisan dalam otot. Busung gelatin juga ditemukan di sekitar faring, epiglotis dan pita suara. Lidah sering kali membengkak dan berwarna coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang-kadang menjulur keluar. Selaput lendir saluran pernapasan umumnya membengkak dan kadang-kadang disertai selaput fibrin.
        Kelenjar limfa retropharingeal dan cervical membengkak. Rongga perut kadang-kadang berisi beberapa liter cairan bening berwarna kekuningan atau kemerahan. Tanda-tanda peradanagn akut hemorrhagik bisa ditemukan di abomasum dan usus halkus dan sekalisekali di bagian colon. Isi rumen umumnya kering, sedangkan isi abomasum seperti bubur. Isi usus cair berwarna kelabu kekuningan atau kemerahan tercampur darah. Sering kali di dapati gastroenteritis bersifat hemorrhagik. Limpa jarang mengalami perubahan. Proses degenerasi umumnya ditemukan pada alat-alat parenkim (jantung, hati dan buah pinggang).
        Pada bentuk pektoral terlihat pembendungan kapiler dan perdarahan di bawah kulit dan di bawah selaput lendir. Pada pleura terlihat peradangan dengan perdarahan titik (petechiae) dan selaput fibrin tampak pada permukaan alat-alat viseral dalam rongga dada. Juga terlihat gejala busung berbentuk hidrothorak, hidropericard dengan cairan yang kering., berfibrin. Paru-paru menderita bronchopneumoni berfibrin atau fibrinonekrotik. Bagian paru-paru mengalami hepatisasi dan kadang-kadang konsistensi agak rapuh. Hepatisasi umumnya terdapat secara seragam dalam satu stadium, berupa hepatisasi merah dalam keadaan akut, hepatisasi kelabu atau kuning dalam stadium yang lebih lanjut. Bidang sayatan paru-paru beraneka warna karena adanya pneumonia berfibrin, bagian-bagian nekrotik, sekat interlobuler berbusung dan bagian-bagian yang normal. Bagian paru-paru yang tidak meradang tampak hiperemik dan berbusung. Kelenjar limfa peribronchial membengkak. Kadang-kadang ada tanda-tanda enteritis akut sedangkan limfa umumnya normal.
        Pada bentuk intestinal biasanya mengiringi kedua bentuk tersebut di atas, terlihat gastroenteritis kataralis hingga hemorrhagik.

Pencegahan
Pencegahan penyakit SE dilakukan dengan cara:
Untuk daerah bebas SE, tindakan pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut.
Untuk-daerah-daerah tertular, hewan-hewan sehat divaksin dengan vaksin oil adjuvan
Ada hewan tersangka sakit daat dipilih salah satu dari perlakuan sebagai berikut :
Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan
Penyuntikan antibiotik
Penyuntikan kemoterapika
Penyuntuikan antiserum dan antibiotik atai anti serum dan kemoterapika
 
         Untuk daerah-daerah tertular, ternak-ternak sehat divaksin dengan vaksin oil adjuvant, sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml secara intra muskuler. Vaksinasi dilakukan pada saat tidak ada kejadian penyakit.
        Pada ternak tersangka sakit dapat dipilih salah satu dari perlakuan penyuntikan antiserum dengan dosis pen cegahan, penyuntikan antibiotika, penyuntikan kemoterapetika, kombinasi penyuntikan antiserum dengan antibiotika atau kombinasi antiserum dengan kemoterapetika.
         Dosis pencegahan antiserum untuk ternak besar adalah 20 – 30 ml dan untuk ternak kecil adalah 10 – 20 ml. Antiserum heterolog disuntikkan secara subkutan (SC) dan antiserum homolog disuntikkan secara intravena (IV) atau SC. Dua minggu kemudian bila tidak timbul penyakit disusul dengan vaksinasi.

Pengobatan
        Pengobatan terhadap penyakit SE dapat dilakukan sebagai berikut (1) Seroterapi dengan serum kebal homolog dengan dosis 100 – 150 ml untuk ternak besar dan 50 – 100 untuk ternak kecil. Antiserum homolog diberikan secara IV atau SC. Sedangkan antiserum heterolog diberikan secara SC. Penyuntikan dengan antiserum ini memberikan kekebalan selama 2 sampai 3 minggu dan hanya baik bila dilakukan pada stadium awal penyakit. Sebaiknya pemberian seroterapi dikombinasikan dengan pemberian antibiotika atau kemoterapetika (2) Seandainya antiserum tidak tersedia, pengobatan dapat dicoba dengan preparat antibiotika, kemoterapetika atau gabungan kedua preparat tersebut (3) Sulphadimidine (suphamezathine) sebanyak 1 gram tiap 15 lb bw.

Pengendalian dan pemberantasan
Secara garis besar, polanya sama dengan pemberantasan penyakit anthrax, yaitu
dalam keadaan penyakit sporadis, tindakan pemberantasan ditekankan pada pengasingan hewan sakit dan penyuntikan antiserum SE pada hewan sakit
dalam keadaan penyakit enzootik/epizotik, tindakan pemberantasan ditekankan pada penentuan batas-batas daerah tertular dari daerah belum tertular

Perlakuan pemotongan hewan dan daging
Dengan pertimbangan bahwa:
SE tidak berbahaya untuk konsumsi manusia
Hamir seluruh indonesia adalah daerah tertular SE, maka hewan berpenyakit SE tidak dilarang untuk dipotong, sesuai dengan peraturan yang berlaku

Diagnosa banding
        Apabila busung tidak terlihat jelas, SE dapat dikelurkan dengan anthrax dan rinderpest. Pada SE tidak ditemukan endarahan yang berwarna hitam serupa seerti halnya anthrax. Selain dari gejala-gejala klinis SE dapat dibedakan dari rinderpest, karena pada SE tidak terjadi radang usus yang bersifat krupus difteritis dan nekrose ada jaringan limfoid. Untuk peneguh diagnose, kuman penyebab SE harus dapat diisolasi. Perlu diketahui bahwa tidak hanya kuman Pasteurella yang mempunyai sifat bipoler.

5. Penyakit Pink Eye.
        Pink Eye merupakan penyakit mata akut yang menular pada sapi, domba maupun kambing, biasanya bersifat epizootik dan ditandai dengan memerahnya conjunctiva dan kekeruhan mata.
        Penyakit ini tidak sampai menimbulkan kematian, akan tetapi dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi peternak, karena akan menyebabkan kebutaan ,penurunan berat badan dan biaya pengobatan yang mahal.

Etiologi
        Pink Eye disebabkan oleh bakteri, virus, rikketsia maupun chlamydia, namun yang paling sering ditemukan adalah akaibat bakteri Maraxella bovis.

Cara Penularan
        Mikrorganisme penyebab ditularkan lewat kontak antara ternak peka dengan ternak penderita atau oleh serangga yang bisa memindahkan mikroorganisme atau bisa juga lewat iritasi debu atau sumber-sumber lain yang dapat menyebabkan goresan atau luka mata.

Gejala Klinis
        Mata berair, kemerahan pada bagian mata yang putih dan kelopaknya, bengkak pada kelopak mata dan cenderum menjulingkan mata untuk menghindari sinar matahari. Selanjutnya selaput bening mata/kornea menjadi keruh dan pembuluh darah tampak menyilanginya. Kadang-kadang terjadi borok atau lubang pada selaput bening mata. Borok dapat pecah dan mengakibatkan kebutaan. Mata akan sembuh dalam waktu 1 – 4 minggu, tergantung kepada penyebabnya dan keganasan penyakitnya.

Pengobatan
        Suntikan antibiotik, seperti tetracyclin atau tylosin dan penggunaan salep mata dapat membantu kesembuhan penyakit. Menempatkan ternak pada tempat yang teduh atau menempelkan kain di mata dapat mengurangi rasa sakit mata akibat silaunya matahari.

Pencegahan
            Memisahkan ternak yang sakit dari ternak-ternak sehat merupakan cara terbaik untuk pencegahan terhadap pinx eye. Tidak tersedia vaksin untuk penyakit ini.



6. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
        Penyakit mulut dan kuku (PMK) disebut juga foot and mouth disease (FMD) atau Aphtae Epizooticae (AE). Penyakit mulut dan kuu adalah penyakit akut dan sangat menular yang menyerang sapi, kerbau, babi, kambing, domba dan hewan berkuku genap lainnya. Infeksi ditadai dengan pembentukan lepuh yang kemudian berkembang menjadi erosi pada selaput lendir mulut, diantara kuku, lekuk koroner kaki dan puting susu.
          Penyebab PMK adalah virus RNA, berdiameter 20 mu. Virus ini sangat labit (antigenetisnya mudah berubah), virusnya tidak tahan terhadap asam dan alkalis, panas, sinar ultraviolet, beberapa zat kimia dan desinfektan. Akan tetapi virus ini tahan hidup ada bahan yang mengandung protein, tahan kekeringan dan tahan dingin.
        Gejala klinis ada ternak adalah lesu, suhu tubuh dapat mencapai 41 0C, hypersalivasi (karena erosi selaput lendir mulut dan lidah), nafsu makan berkurang, enggan berdiri (karena luka pada interdigital), enurunan produksi susu secara mendadak, penurunan berat badan yang terjadi serentak pada suatu kelompok hewan dan hewan antar jenis lainnya di pekarangan yang sama. Gejala yang khas berupa lepuh-lepuh diruang mulut terutama bagian atas indah, bibir bagian dalam, gusi, langit-langit, dan sekali-kali pada selaput lendir mata.

Pencegahan penyakit PMK
Laporan Dinas Peternakan kepada Dirjen eternakan dan Pemda, tentang terdaatnya kejadian pertama PMK
Melakukan pemeriksaan dan peneguhan PMK oleh laboratorium yang berwenang
Pernyataan dari pihan Dirjen Peternakan dan Penda tentang terdaatnya/bebasnya statu daerah terhadap PMK
Ketentuan Umum
Persyaratan khusus lalu lintas ternak bibit dan potong

Pengendalian penyakit PMK
Vaksinasi
Pada pemindahan hewan dari daerah tersangka dan tertular dan tertular ke suatu daerah perlu dilakukan vaksinasi
Daerah terjangkit, tertutup bagi keluar masuknya hewan. Alat-alat angkutan atau alat lainnya dihapushamakan sebelum meinggalkan daerah.
Virus PMK pada jerami tahan 1 bulan dan yang terbungkus protein tahan berbulan-bulan
Pengobatan terhada penderita PMK dengan serum dan antibiotika tidak memperoleh hasil yang memuaskan karena hanya infeksi sekunder saja.

Pemberantasan penyakit PMK
        Pembunuhan hewan yang sakit dan hewan yang berkontak dengan hewan yang sakit adalah cara yang terbaik untuk memberantas PMK, tetapi hal ini membutuhkan biaya yang besar, cara ini hanya daat dilakukan pada keadaan yang khusus seerti daerah wabah.

Perlakukan pemotongan hewan dan daging
        Ternak penderita atau tersangka PMK diijinkan untuk dipotong. Ternak tersebut daat diangkut ke RPH dan dagingnya bolej diperjualbelikan setelah dilayukan 24 jam, akan tetapi tulang, jerohan/viscera, kaki dan kepala harus direbus terlebih dahulu, kulitnya boleh diangkut keluar RPH dalam keadaan kering sempurna dan setelah direbus.

Powered by Weebly
Mobile SiteFull Site

Senin, 07 Oktober 2013

WASPADA: Penyakit Cacingan pada Ternak Sapi.

Tulisan tentang Cacing yang dapat menyerang dan membahayakan ternak, khususnya Sapi, di bawah ini saya COPAS dari Info Medion Online. Tidak ada maksud lain selain pandangan bahwa begitu pentingnya pengetahuan tentang segala sesuatu yang mempengaruhi keberhasilan dari kegiatan beternak, di antaranya ilmu dan pengetahuan tentang serangan cacing pada ternak Sapi.

CACINGAN PADA SAPI JANGAN DIANGGAP ENTENG.

Tahukah Anda bahwa hampir semua sapi yang dipelihara secara tradisional menderita cacingan? Dan ironisnya masih saja banyak orang yang memandang sebelah mata penyakit ini. Secara kasat mata, memang tidak semua sapi yang menderita cacingan terlihat sakit, tetapi rata-rata menunjukkan gejala kekurusan. Tingkat keparahan yang ditimbulkan oleh serangan parasit cacing pun tergantung pada jenis cacing, jumlah cacing yang menyerang, umur sapi yang terserang serta kondisi pakan.
Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, namun secara ekonomi dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar. Oleh karena itu tidak heran kalau penyakit cacingan ini sering disebut sebagai penyakit ekonomi. Lantas apa saja kerugian-kerugian ekonomi yang ditimbukan oleh penyakit cacingan pada sapi? Ternyata cukup banyak, mulai dari penurunan berat badan, terhambatnya pertumbuhan pada sapi muda, penurunan kualitas daging, kulit dan jeroan pada ternak potong, penurunan produksi susu pada ternak perah dan bahaya penularan pada manusia. Hasil suatu penelitian menyatakan bahwa kasus cacingan menyebabkan keterlambatan pertumbuhan berat badan per hari sebanyak 40% pada sapi potong dan penurunan produksi susu sebesar 15% pada sapi perah (Siregar, 2013).

Melihat fakta di atas, masihkah penyakit cacingan pada sapi dipandang sebelah mata? Sudah sepantasnya kita waspada terhadap serangan penyakit cacingan yang setiap saat selalu mengintai ternak sapi. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita mulai sedikit bernostalgia dengan penyakit yang sepanjang tahun 2012 lalu nyaris menduduki urutan paling teratas dalam hal laporan kejadian kasus di lapangan (Infovet, 2012).

Cacingan pada Sapi dan Agen Penyebabnya.

Cacingan atau dalam kamus kedokteran dikenal dengan istilah helminthiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya infestasi cacing pada tubuh hewan, baik pada saluran percernaan, pernapasan, hati, maupun pada bagian tubuh lainnya. Pada sapi, umumnya infestasi cacing sering ditemukan pada saluran pencernaan dan hati.

Berdasarkan bentuknya, jenis cacing yang dapat menyerang sapi dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu cacing gilig (Nematoda), cacing pita (Cestoda) dan cacing daun atau cacing hati (Trematoda). 

Cacing gilig (Nematoda)

Sesuai dengan namanya, cacing gilig memiliki bentuk tubuh yang bulat seperti pipa dengan kedua ujungnya yang meruncing. Sebagian besar cacing ini memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil. Beberapa spesies yang dapat menyerang ternak sapi di antaranya Toxocara vitulorum, Oesophagostomum radiatum, Agryostomum vryburgi, Bunostomum phlebotomum, Trichostrongylus spp., Nematodirus spp., Cooperia spp., Ostertagia ostertagi, Haemonchus placei dan Mecistocirrus digitatus.
Namun, dari beberapa spesies tersebut yang paling sering ditemukan kasusnya terutama pada pedet (sapi muda) yaitu spesies Toxocara vitulorum yang penyakitnya dikenal dengan istilah toxocariasis. Cacing yang dikenal juga dengan Neoascaris vitulorum ini habitatnya di dalam usus halus sapi dan berukuran paling besar dibandingkan spesies nematoda lainnya. Cacing jantan berukuran 250 x 5 mm, sedangkan betinanya 300 x 6 mm. Telur cacing T. vitulorum berbentuk bulat dan memiliki ciri khas dinding telur yang tebal.
Kasus toxocariasis dimulai dengan termakannya feses yang mengandung telur cacing T. vitulorum oleh sapi. Selanjutnya telur akan menetas di usus halus dan menjadi larva. Larva kemudian dapat bermigrasi (pindah) ke hati, paru-paru, jantung, ginjal, bahkan plasenta dan masuk ke cairan amnion (ketuban) serta ke dalam kelenjar ambing dan keluar bersama kolostrum. Kolostrum yang diminum oleh pedet akan menjadi sumber penularan cacing T. vitulorum. Sementara, larva yang tetap berada dalam usus akan berkembang menjadi cacing dewasa dan selanjutnya menghasilkan telur yang bisa ikut terbuang bersama feses sapi.

Dilihat dari siklus hidupnya, maka penularan kasus toxocariasis pada sapi dapat terjadi melalui pakan atau air yang terkontaminasi oleh telur maupun larva cacing dan melalui kolostrum yang mengandung larva cacing.

Cacing pita (Cestoda)

Jenis cacing pita yang dapat menyerang sapi ialah spesies Taenia sp., Moniezia sp. dan Echinococcus granulosus. Dari ketiga cacing tersebut, hanya spesies Moniezia sp. yang hidup sampai dewasa dalam tubuh sapi. Namun, serangan cacing pita yang paling umum ditemukan pada sapi terutama oleh genus Taenia, yaitu Taenia saginata.
Serangan cacing pita ini tidak berbahaya bagi ternak sapi itu sendiri karena dalam tubuh sapi telur cacing yang termakan bersama rumput hanya berkembang sampai fase larva. Larva cacing T. saginata yang berada dalam usus sapi selanjutnya akan menembus pembuluh darah dan ikut bersama aliran darah hingga sampai di otot. Selanjutnya, manusia perlu waspada terhadap serangan cacing pita ini, karena larva yang termakan dari daging sapi mentah atau yang dimasak kurang matang dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus halus manusia. Cacing pita dewasa akan menyerap sari-sari makanan dalam usus dan dapat menyebabkan penyumbatan usus.

Panjang cacing T. saginata dewasa berkisar antara 4-8 meter dan terdiri atas segmen-segmen yang disebut proglotida. Proglotida yang telah matang, atau disebut juga proglotida gravid, pada cacing dewasa berisi alat reproduksi jantan dan betina serta puluhan ribu telur. Bisa dibayangkan betapa banyaknya telur yang dihasilkan oleh 1 ekor cacing pita dewasa yang selanjutnya siap masuk kembali kedalam tubuh sapi untuk berkembang menjadi bentuk yang siap masuk ke dalam tubuh manusia.

Cacing hati (Trematoda)

Kasus cacingan pada sapi akibat cacing hati (Fasciola sp.) cukup banyak dan sudah tak asing lagi dijumpai di lapangan. Kejadiannya terutama banyak dilaporkan pada saat perayaan Idul Adha, dimana pada waktu tersebut banyak orang yang melakukan penyembelihan hewan kurban khususnya sapi. Terdapat 2 spesies yang cukup penting di dunia, yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. Namun, spesies yang paling sering ditemukan pada sapi di Indonesia yaitu F. gigantica. Secara umum, cacing hati berbentuk gepeng atau pipih seperti daun, namun untuk spesies F. gigantica tubuhnya lebih memanjang dibandingkan F. hepatica. Sesuai dengan namanya cacing hati berhabitat di hati dan saluran empedu. Infestasi cacing ini dikenal dengan istilah fasciolosis.
Siklus hidup cacing F. gigantica dimulai saat cacing dewasa yang berada di hati dan saluran empedu mengeluarkan telurnya. Telur cacing ini kemudian masuk ke dalam usus halus bagian duodenum bersama cairan empedu dan selanjutnya dikeluarkan bersama feses. Di luar tubuh sapi, telur berkembang menjadi mirasidium. Untuk berkembang ke fase berikutnya, mirasidium memerlukan inang antara, yaitu siput muda Lymnaea rubiginosa.
Di dalam tubuh siput, mirasidium berkembang menjadi sporokista, redia dan serkaria. Selanjutnya serkaria yang memiliki kemampuan berenang akan keluar dari tubuh siput. Setelah menemukan tempat yang cocok, serkaria akan berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Kista dapat berada dalam air maupun menempel pada tanaman. Selanjutnya, air dan tanaman yang mengandung kista ini akan menjadi media penularan bagi ternak sapi lainnya jika termakan.

Faktor Predisposisi (Pemicu) Cacingan

Kasus cacingan yang terjadi pada sapi disinyalir dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menjadi predisposisi (pemicu) penyakit tersebut. Faktor-faktor tersebut di antaranya umur, musim atau kondisi lingkungan, keberadaan vektor (inang antara) dan metode pemeliharaan.

Umur

Jika dilihat dari umur serangannya, kasus cacingan pada sapi dapat menyerang semua umur. Namun, berdasarkan jumlah kasus yang terjadi di lapangan, pedet cenderung memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap kasus cacingan. Pedet lebih rentan terserang penyakit cacingan karena memiliki daya tahan tubuh yang belum optimal.

Musim atau kondisi lingkungan

Kasus cacingan terutama sering ditemukan pada saat musim hujan atau kondisi lingkungan lembab dan basah yang umumnya disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Kondisi tersebut menjadi media yang cocok untuk perkembangan telur cacing menjadi bentuk yang siap masuk ke dalam tubuh sapi.

Pada peternakan sapi skala kecil, umumnya sanitasi atau kebersihan kandang masih sangat minim, sehingga kandang lebih sering dalam kondisi yang kotor dan becek. Oleh karena itu, besar kemungkinannya sapi yang dipelihara dalam kandang seperti ini terserang cacingan.

Keberadaan vektor (inang antara)

Beberapa jenis cacing yang menyerang sapi membutuhkan inang antara seperti siput air tawar dalam siklus hidupnya. Pada kondisi yang lembab, hewan ini mampu hidup dan berkembang biak dengan sangat baik. Maka tak heran pada saat musim hujan siput air tawar ini sering kita jumpai karena populasinya yang bertambah banyak. Apabila dikaitkan dengan kasus cacingan pada sapi, kondisi ini tentu saja dapat meningkatkan resiko serangan parasit cacing pada ternak sapi.

Metode pemeliharaan

Jika ditinjau dari metode pemeliharaannya, sapi yang dipelihara dengan sistem tradisional (ekstensif) lebih beresiko terserang penyakit cacingan dibandingkan dengan sapi yang dipelihara dengan sistem yang lebih modern (intensif). Pada pemeliharaan dengan sistem ekstensif, sapi dibiarkan bebas merumput atau mencari makan sendiri di lahan penggembalaan. Padahal tidak jarang tempat-tempat yang dijadikan sebagai lahan penggembalaan tersebut telah terkontaminasi telur atau larva cacing. Sedangkan pada pemeliharaan dengan sistem intensif, sapi sepanjang hari dikandangkan dan pakan diberikan pada waktu tertentu oleh pemilik ternak. Hal ini tentu saja dapat mengurangi resiko sapi untuk kontak dengan telur maupun larva cacing.

Gejala Klinis dan Perubahan Organ (Patologi Anatomi)

Kasus cacingan pada ternak sapi umumnya berjalan secara kronis (dalam waktu yang lama), sehingga pada awal serangan gejalanya sulit untuk diamati. Secara umum sapi yang terserang cacingan badannya kurus, bulu kusam dan berdiri, mengalami diare atau bahkan konstipasi (sulit buang air besar), nafsu makan menurun dan terkadang mengalami anemia.

Berdasarkan kasus yang dilaporkan di lapangan, pedet sapi yang menderita toxocariasis menunjukkan gejala diare dan badannya menjadi sangat kurus. Pernah dilaporkan juga bahwa kasus toxocariasis pada pedet dapat menyebabkan kematian. Pedet yang bertahan hidup biasanya akan mengalami gangguan pertumbuhan. Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada pedet yang mati akibat serangan toxocariasis adalah terjadinya peradangan pada saluran percernaan usus halus.
Sapi dewasa yang terserang toxocariasis umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas. Hanya saja, infestasi cacing T. vitulorum pada sapi perah biasanya akan menurunkan kualitas susu karena mengandung larva cacing ini.
Sementara pada kasus fasciolosis, sering dilaporkan ternak sapi mengalami gangguan pencernaan berupa konstipasi dengan feses yang kering. Pada kasus yang sudah parah, seringkali sapi menunjukkan gejala diare, pertumbuhan yang terhambat bahkan terjadi penurunan produktivitas. Apabila ternak sapi dipotong, dapat kita amati adanya perubahan patologi anatomi terutama pada organ hati. Pada kasus akut (kasus penyakit berjalan singkat) akan ditemui adanya pembendungan dan pembengkakkan hati, permukaan hati biasanya akan mengalami perdarahan titik (ptechie) serta kantong empedu dan usus mengandung darah. Sementara pada kasus kronis, biasanya terjadi penebalan dinding saluran empedu dan pengerasan jaringan hati (serosis hati). Pada saluran empedu biasanya dapat ditemukan parasit cacing bahkan seringkali terdapat batu empedu.

Cara Mendiagnosa Cacingan pada Sapi

Salah satu problem tidak teridentifikasinya kasus cacingan pada sapi yaitu akibat minimnya gejala klinis yang dapat teramati. Bahkan pada kasus cacingan yang masih awal, sapi biasanya masih terlihat sehat tanpa menunjukkan adanya gejala klinis. Selain itu, gejala klinis yang muncul pada kasus cacingan pun merupakan gejala yang sangat umum sehingga kadang masih menyulitkan untuk mengarahkan diagnosa. Terkecuali jika kasus cacingan sudah sangat parah, maka dapat kita temukan adanya cacing dewasa pada feses sapi, terutama untuk cacing yang menyerang saluran pencernaan.

Untuk membantu meneguhkan diagnosa cacingan pada sapi dapat dilakukan melalui uji laboratorium, yaitu uji feses. Pemeriksaan atau uji feses bertujuan untuk mengetahui keberadaan telur cacing secara kualitatif maupun kuantitatif. Selain keberadaan telur, pada feses juga dapat ditemukan keberadaan larva cacing. Lebih jauh lagi, pada uji feses ini dapat diidentifikasi jenis cacing yang menyerang berdasarkan karakteristik telur yang ditemukan. Melalui uji ini juga kasus cacingan pada sapi dapat diidentifikasi sejak dini sehingga pengobatannya pun akan relatif lebih mudah dan kerugian ekonomi yang lebih besar dapat diminimalkan.

Pengendalian dan Penanganan Cacingan

Pengendalian dan penanganan kasus cacingan pada sapi dapat dilakukan dengan cara yang sederhana, yaitu memutus siklus hidup dari parasit cacing tersebut. Cara ini dianggap cukup murah dan sangat efektif untuk memberantas kasus cacingan pada sapi yang selalu berulang dari tahun ke tahun. Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait upaya pengendalian dan penanganan kasus cacingan pada sapi di antaranya :

Program pemberian anthelmintika (obat cacing)

Pemberian anthelmintika merupakan langkah utama dalam upaya pengendalian dan penanganan cacingan baik pada pedet maupun sapi dewasa. Pemberian anthelmintika sebaiknya tidak hanya dilakukan pada ternak sapi yang telah dipastikan positif cacingan mengingat hampir sebagian besar sapi terutama yang dipelihara secara tradisional menderita cacingan. Program pemberian anthelmintika sebaiknya dilakukan sejak masih pedet (umur 7 hari) dan diulang secara berkala setiap 3-4 bulan sekali guna membasmi cacing secara tuntas dan memutus siklus hidup parasit tersebut (Agrina, 2011).

Beberapa produk anthelmintika Medion yang dapat digunakan untuk memberantas cacing gilig pada sapi yaitu Nemasol-K, Vermizyn SBK, Wormectin Injeksi dan Wormzol-B. Produk Wormzol-B selain efektif untuk semua stadium cacing gilig, dapat juga digunakan untuk memberantas cacing pita dan cacing hati dewasa pada sapi.

Sanitasi kandang dan lingkungan

Kasus cacingan pada sapi akan menjadi lebih sulit diberantas jika tidak ditunjang dengan sanitasi kandang dan lingkungan yang baik. Upaya yang dapat dilakukan di antaranya menjaga drainase kandang dan lingkungan di sekitarnya sehingga tidak lembab dan becek serta menghindari adanya kubangan-kubangan air pada tanah. Selain itu, tanaman dan rumput-rumput liar di sekitar kadang dibersihkan serta melakukan desinfeksi kandang secara rutin menggunakan Antisep, Neo Antisep, Formades atau Sporades.

Sistem penggembalaan dan pemberian rumput

Saat menggembalakan sapi, sebaiknya hindari tempat-tempat penggembalaan yang becek dan padang rumput yang diberi pupuk kandang tanpa diketahui dengan jelas asal usulnya. Selain itu, ternak sapi sebaiknya tidak digembalakan terlalu pagi karena pada waktu tersebut larva cacing biasanya dominan berada di permukaan rumput yang masih basah. Guna memutus siklus hidup cacing, sebaiknya sistem penggembalaan dilakukan secara bergilir. Artinya sapi tidak terus-menerus digembalakan di tempat yang sama. Pada padang penggembalaan juga dapat ditaburkan copper sulphate untuk mencegah perkembangan larva cacing hati. Untuk sapi yang dipelihara secara intensif, pemberian rumput segar sangat tidak dianjurkan. Sebaiknya rumput dilayukan terlebih dahulu sebelum diberikan pada sapi guna menghindari termakannya larva cacing yang menempel pada rumput.

Populasi inang antara

Mengingat beberapa spesies cacing membutuhkan inang antara seperti siput air tawar untuk kelangsungan hidup cacing hati, maka populasinya menjadi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengendalian dan penanganan kasus cacingan. Populasi siput air tawar dapat dikurangi dengan cara memelihara itik atau bebek yang berperan sebagai predator alami inang antara tersebut. Selain itu, lingkungan harus dijaga supaya tidak terlalu lembab dan basah karena kondisi tersebut sangat baik
untuk kelangsungan hidup siput air tawar.

Kualitas Pakan

Percaya atau tidak, bahwa kualitas pakan mempengaruhi tingkat kejadian cacingan pada ternak sapi. Kualitas pakan, baik rumput maupun konsentrat, yang baik dapat membantu meningkatkan daya tahan ternak sapi karena nutrisi yang diperlukan tercukupi.

Monitoring telur dan larva cacing

Sebagaimana kita ketahui bahwa penularan kasus cacingan sangat mudah terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor predisposisi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya monitoring secara rutin (2-3 bulan sekali) terhadap telur dan larva cacing melalui uji feses. Untuk menunjang hal tersebut, saat ini Medion telah memiliki laboratorium yang dapat melayani uji tersebut, yaitu MediLab yang telah tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.

Upaya pengendalian dan penanganan cacingan ini sebenarnya sangat sederhana dan dapat dilakukan oleh semua kalangan peternak. Namun, untuk menunjang hal ini diperlukan sebuah komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak bahwa upaya pengendalian dan penanganan kasus cacingan perlu dilakukan secara berkelanjutan. Jika kedua modal utama tersebut hanya dimiliki oleh sebagian peternak, maka dapat kita ramalkan tingkat keberhasilan pun menjadi lebih kecil.

Dari seluruh bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penyakit cacingan telah menjadi penyakit ekonomi yang menimbulkan kerugian cukup besar. Guna mengatasi kasusnya yang terus berulang diperlukan pengendalian dan penanganan dengan memutus siklus hidup cacing yang sifatnya berkelanjutan dengan ditunjang oleh komitmen dan kesadaran yang tinggi dari seluruh peternak. Salam.

Info Medion Edisi Juni 2013.
Artikel bersumber dari Info Medion Online (http://info.medion.co.id)



Selasa, 01 Oktober 2013

CARA MERAWAT ANAK SAPI TANPA SUSU INDUK


Postingan ini bukan bermaksud menggurui bagi siapa saja yang mungkin lebih banyak mengetahui tentang tata cara (ilmu) beternak, khususnya ternak Sapi. Tulisan ini semata-mata di dasarkan atas pengalaman perternak Sapi yang admin dapatkan langsung dari pelaku. Jadi mungkin saja perlakuan terhadap ternak memiliki perbedaan dari teori-teori yang di jelaskan secara panjang lebar di dunia ilmiah.

Kelompok Tani "AMERTHA BUMI", merupakan salah satu kelompok tani yang di kenal cukup agresive dalam memberi perhatian atas kondisi yang di alami oleh para petani, baik bidang perkebunan, holtikultura serta perikanan dan peternakan. Pengurus kelompok tani AB ini juga sangat aktif mensosialisasikan nilai positif, manfaat serta keuntungan dari budaya organik di bidang budi daya komoditas perkebunan, pertanian dan holtikultura di wilayah Kecamatan Ampibabo. Keseriusan dan antusiasme pengurus dan anggota kelompok tani AB ini, nampak dari usaha pengintegrasian usaha perkebunan dengan peternakan. Oleh pengurus Kelompok Tani AB, peternakan bagi petani pada dasarnya memberi keuntungan ganda, terutama di bidang mensukseskan program kerja kelompok tani AB, yaitu mengembangkan Perkebunan/Pertanian yang berbudaya lingkungan.

Integrasi usaha tani (Perkebunan - Peternakan) yang di lakukan oleh Kelompok Tani AB ini kini berjalan dalam tahap pengembangan. Dengan satu unit Kandang Komunal berkapasitas 50 ekor, Kelompok  Tani AB mengembangkan pupuk kompos (Organik) untuk memenuhi kebutuhan pupuk bagi anggota dan petani sekitar. Bahan baku kompos seperti limbah kandang di dapatkan dari kandang ini. Ternak sapi yang di pelihara berasal dari bantuan pemerintah pusat (UPPO TA 2012) serta swadaya anggota. Mayoritas adalah Sapi betina yang kini telah mulai membiak.

Sejak mengembangkan usaha peternakan (sebagai sumber organik), dari 35 ekor sapi dalam kandang komunal, telah 18 ekor sapi betina yang beranak. Namun dari 18 ekor anakan yang lahir hanya 5 yang tersisa, yang lainnya mati tanpa di ketahui penyebabnya. Seperti penjelasan sekretaris kelompok tani AB, I Nyoman Wancana, bahwa perawatan ternak telah di lakukan secara maksimal, di antaranya melakukan penyuntikan ternak setiap 2 bulan sekali, pemberian pakan yang cukup serta pembersihan  kandang. 

Belakangan di ketahui, bahwa induk dari pedet (anak sapi) tersebut tidak mengeluarkan air susu. Ini di ketahui setelah seekor induk sapi beranak, namun di hari ke 4 anak sapi yang nampak sehat dan lincah tersebut tiba-tiba mati. Tidak di ketahui penyebabnya, pengurus kelompok setelah menerima laporan dari pemelihara ternak, kemudian memanggil petugas pendamping (Penyuluh) dan Mantri Hewan. Dari analisa kesehatan tidak di temukan tanda-tanda induk sapi tersebut sakit atau gejala lainnya. Padahal ketika anak sapi yang mati tersebut lahir dan berusia 3 hari, induk sapi yang lainnya juga beranak. Hal ini membuat pengurus dan anggota kelompok AB kebingungan, melihat kenyataan anak - anak sapi yang mati setelah lahir.
Tetapi dari keterangan yang di gali dari pemelihara ternak, pengurus mendapat pernyataan bahwa pemelihara tidak pernah melihat anak-anak sapi tersebut menyusu pada induknya. Ini di yakini karena pemelihara melihat anak sapi tersebut menghisap puting susu induknya (nampak menyusu) tidak pernah lama. Hanya sesaat saja. Dari keterangan itu, kemudian ketua kelompok meminta pemelihara untuk memerah susu induk sapi yang anaknya mati tersebut. Ternyata setelah di perah, puting-puting susu itu tidak mengeluarkan air susu, sebagaimana induk sapi yang beranak pada umumnya. Padahal bentuk dari susunya besar. Tindakan itu kemudian di lakukan juga pada induk sapi yang beranak  belakangan (yang anaknya belum mati), ternyata juga tidak mengeluarkan air susu. Maka dari kenyataan ini, pengurus memiliki dugaan kuat, bahwa selama ini anak-anak sapi yang mati tersebut di sebabkan karena tidak mendapat susu induknya.

Air susu induk sapi bagi anaknya tentu sangat penting. Di samping sebagai sumber antibody karena kandungannya, juga sebagai bahan makanan dan minuman. Secara umum air susu sebagai penghilang lapar dan haus bagi anak-anak sapi yang baru lahir, karena belum dapat memakan jenis makanan kasar. Tetapi kini, kenyataan bagi pengurus dan anggota kelompok tani AB, bahwa anak-anak sapi hasil dari ternak mereka begitu banyak yang mati, yang tentu saja ini sangat merugikan.

Dengan kenyataan demikian, kemudian ketua kelompok memerintahkan kepada pemelihara ternak (yang telah beranak) untuk memberikan air susu buatan kepada anak-anak sapi yang masih hidup. Susu yang di berikan adalah susu untuk bayi manusia yang banyak di jual di pasaran. Pengalaman dari kelompok ini, anak-anak sapi tersebut di berikan SUSU SGM sesuai perkembangan usia anak sapi. JANGAN COBA-COBA MEMBERIKAN SUSU CAIR (CREAM) karena anak sapi akan mengalami mencret. Untuk takaran bagi anak sapi yang baru lahir (di bawah satu bulan), di beri 3 Takaran (tersedia dalam box susu) untuk setiap 100 ml air. 

Gunakan DOT BAYI dengan lubang puting yang telah di sesuaikan. Seduh susu SGM yang telah di siapkan dengan air matang, dan kocok agar susu larut, lalu berikan pada anak sapi.  Pertama kali di berikan anak sapi akan mencoba menolak, tetapi harus tetap diberikan. Bila terus di tolak oleh anak sapi, maka susu tersebut dapat di tambahkan dengan gula. Pengalaman di lapangan, setelah di tambahkan gula, maka anak sapi akan menyukai susu buatan yang di berikan. Kemudian jumlah takaran susu di sesuaikan untuk mendapatkan rasa yang ideal bagi anak sapi. Ini di dapatkan dengan menambahkan jumlah takaran susunya. Yang lainnya, dapat di usahakan untuk memberikan air tajin.

Sampai saat ini, pengurus dan anggota kelompok tani AMERTHA BUMI ini belum mengetahui penyebab dari tidak keluarnya air susu induk sapi tersebut. Apakah karena penyumbatan lubang putingnya ataukah karena faktor makanan yang di berikan. Sekedar informasi bahwa pakan yang di berikan adalah Rumput Gajah dan Rumput Teki. Kejadian seperti ini memang sangat jarang terjadi, khususnya di wilayah Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Bagi sahabat pembaca yang mengetahui penyebab dan cara penanggulangan dari mampetnya air susu indukan sapi, mohon informasi dan bantuannya.

Bagi peternak sapi, jangan lupa memeriksa air susu induk sapinya bila telah beranak.